Anak Jalanan

Kota Semarang adalah salah satu kota besar di Indonesia, ibu kota Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya sepertihalnya kota-kota lain yang sedang berkembang di seluruh dunia. Sekarang ini banyak berdiri kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya yang mendorong para urban untuk mengadu nasib di Kota Semarang. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan di kota ini. Tetapi bagi mereka yang belum beruntung tak sedikit yang menjadi gelandangan atau pengemis. Adalah sebuah pemandangan yang sering kita temui di jalanan besar Kota Semarang, beberapa anak usia sekolah yang memintaminta, berjualan koran, mengamen atau becanda dengan kawan-kawannya. Mereka inilah yang disebut anak jalanan. Anak Jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan hidup, anak-anak yang hidup di jalanan biasanya melakukan aktivitas tertentu seperti mengamen, mengemis, mengelap kaca,jualan koran, parkir dan lain sebagainya.
Anak jalanan muncul karena ketimpangan struktur penduduk, dimana anak usia muda jumlahnya banyak, sedangkan tingkat kesejahteraan mereka masih minim sekali. Juga, kehadiran anak jalanan tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya, psikologis dan pendidikan. Dilihat dari segi pendidikan rata-rata anak jalanan mengesampingkan pendidikan.
Salah satu  faktor utama yang menyebabkan anak turun ke jalan untuk bekerja dan hidup di jalanan adalah karena kemiskinan. Kemiskinan merupakan factor dominan, tapi tidak satu-satunya. Ada faktor-faktor yang lebih luas dari pada sekedar kemiskinan, ada tiga tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan.
1.      Tingkat micro ( immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga.
2.      Tingkat messo (underlying cause), yaitu faktor yang ada di masyarakat.
3.      Tingkat macro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur besar dan kebijakan pemerintah.
Dalam teori fungsionalisme Malinowski dikatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem organisme yang di dalamnya mempunyai peran dan fungsi masing-masing untuk menjaga kelangsungan sistem maka masing-masing organ atau bagian kemasyarakatan harus saling mendukung. Jika terjadi kesalahan pada suatu system yang tidak berjalan sebagaimana mestinya maka akan muncul kerusakan atau kesalahan peran organ. Sebaliknya jika terjadi kerusakan atau kesalahan kerja system, maka pasti pula menyebabkan  kerusakan pada organ.
Anak jalanan adalah bukti kerusakan system peran dimana terjadi pergeseran peran dan fungsi dalam keluarga (micro). Keluarga sebagai media sosialisasi pertama yang berperan besar dalam tumbuh kembang seorang anak. Karena berbagi tekanan keluarga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Anak yang seharusnya belajar dan membantu orang tua hanya sewajarnya kini mangalami perubahan seperti anak menjadi penopang ekonomi keluarga. Hal ini dilakukan anak karena beberapa sebab baik dari pihak anak maupun keluarga antara lain anak lari dari keluarga , ingin bekerja baik masih sekolah maupun saat putus sekolah, berpetualang mencari kebebasan dan tertarik akan kehidupan jalanan, serta karena bermain-main atau diajak teman. Sebab dari keluarga adalah karena ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarganya, anak terlantar, anak ditolak oleh orang tua, adanya kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan masalah anak sehinggan anak mengalami masalah fisik, psikologis dan sosial.
Lingkungan dan masyarakat (messo) juga sebagai penyebab bagi turunnya anak ke jalan yang erat kaitannya dengan fungsi utama stabilitas komunitas atau masyarakat yaitu pemeliharaan tata nilai dan pendistribusian kesejahteraan dalam kalangan masyarakat yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata nilai misalnya, tetangga atau tokoh masyarakat tidak menegur ataupun melarang anak berkeliaran di jalan. Hal ini juga didukung oleh keadaan dimana para golongan ekonomi lemah biasanya berkumpul dan tinggal berkelompok disuatu wilayah, dan sudah menjadi kebiasaan ketika keadaan ekonomi menempatkan anak sebagai salah satu penopang ekonomi keluarga, maka hal tersebut menjadi suat kewajaran pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Tidak semua anak jalan berasal dari keluaga yang tinggal di lingkungan kumuh. Sebagian dari mereka juga tinggal di lingkungan yang normal, akan tetapi kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain masyarakat tidak memberikan pelindungan terhadap anak yang terlantar di lingkungan masyarakatnya. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya solidaritas dan kepedulian sosial pada masyarakat.
Pada tingkat messo (masyarakat), sebab anak turun ke jalan ialah untuk membantu orang tua, meningkatkan pendapatan keluarga. Anak atas keinginan sendiri atau dipaksa oleh orang tua turun ke jalan sebagai salah satu penopang ekonomi keluarga yang sudah menjadi suatu kewajaran pada masyarakat tertentu (masyarakat miskin perkotaan yang tinggal dipemukiman kumuh).
Sedang pada tingkat makro erat hubungannya dengan kebijakan pemerintah seperti arah pembangunan yang tidak memihak golongan ekonomi lemah maka yang terjadi nantinya adalah pemiskinan secara struktural. Pembangunan yang timpang memaksa golongan ekonomi lemah mencari jalam keluar sesuai dengan kemampuan mereka. Permasalahan mulai muncul ketika masyarakat miskin ini mencari nafkah dengan cara yang dianggap melanggar atau merusak keindahan kota atau mengurangi kenyamanan di jalan yang harus ditindak lanjuti oleh pemerintah baik dengan cara pembinaan maupun dengan cara kekerasan.   
Pada tingkat makro (structural) sebab yang dapat di identivikasi adalah bahwa anak jalanan dan golongan ekonomi lemah adalah korban pembangunan. Ketimpangan pembangunan di desa dan kota mendorang lahirnya urbanisasi. Akan tetapi kurangnya ketrampilan yang dimiliki membuat mereka terpinggirkan dan menjadi golongan miskin perkotaan. Peluang kegiatan ekonomi bagi golongan ekonomi lemah adalah sektor informal yang tidak begitu membutuhkan modal keahlian. Belum jelasnya sikap pemerintah yang memandang bahwa anak jalanan juga memerlukan perawatan, membuat anak jalanan seolah menjadi trouble maker atau pembuat masalah.
Karena pergeseran fungsi pada keluarga, masyarakat, dan pemerintah, maka muncul anak jalanan. Menurut teori fungsionalisme, Malinowsky berpendapat untuk menjaga stabilitas adalah dengan saling mempertahankan antar komponen dan mempertahankan fungsinya. Menurutnya dalam system organisme ada salah satu bagian yang tidak menjalankan perannya atau terjadi kerusakan sistem, maka keseluruhan sistem serta kinerjanya akan terganggu. Sebaliknya apabila organ tersebut tidak mampu atau mengalami kerusakan dalam menjalnkan perannya, maka kerja seluruh sistempun akan terganggu. Suatu system atau organ akan bertahan apabila ia mampu menopang dan menjalankan perannya dengan baik. Bila peran atau fungsinya tidak optimal maka ia akan gugur dan tergantikan oleh yang lain.
Anak adalah aset negara untuk masa depan. Mereka merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Karena anak memiliki peran yang strategis untuk kelangsungan eksistensi bangsa di masa depan, maka  sudah seharusnya mereka mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan mengembangkan diri secara optimal.   
Hal itu dapat terwujud melalui tercapainya pendidikan pada anak jalanan. Sebagian faktor yang meyebabkan mereka terpinggirkan dalam masyarakat adalah adanya pandangan bahwa anak jalanan adalah anak yang tidak berpendidikan. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dalam menangani pendidikan anak jalanan.
Secara umum pendidikan ditujukan sebagai proses memanusiakan manusia secara manusiawi yang dilakukan melalui sosialisasi. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu pada kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya. Jadi pada akhirnya seorang individu akan lebih mengenal dirinya dalam lingkungan sosialnya. Selain itu dapat menyesuaikan kelakuan dan tindakannya sesuai harapan masyarakatnya. Sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang baik melalui sosialisasi serta agar dapt memperoleh “self concept” atau jati diri tentang dirinya. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tumbuh anak.  Di dalam UU RI No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pada hakekatnya pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Dari uraian di atas maka pada dasarnya pendidikan adalah:
·         Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan.
·         Suatu pengarah dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya.
·         Suatu usaha sadar dan terencana untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat.
·         Suatu pembentukan dan pengembangan potensi anak untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan.





        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar